Senin, 07 Desember 2009

Gerak Tubuh komunikasi verbal

Identifikasi Gerak Tubuh

Pengertian Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi atau proses pemberian arti sesuatu antara dua atau lebih orang dan lingkungannya bisa melalui simbol, tanda atau perilaku yang umum, dan biasanya terjadi dua arah.

Menyapa adalah lambang terjadinya komunikasi.


Pengertian Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi dengan tutur kata baik dengan tulisan maupun tidak, dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
  • Pitch
  • = ketinggian suara
  • Intonation
  • = intonasi
  • Courtesy
  • = kesopanan
  • Tone
  • = nada
  • Understanding
  • = pengertian
  • Rate
  • = kecepatan
  • Enunciation
  • = lafal ucapan

    B. Proses Komunikasi Verbal

    C. Pengertian Komunikasi Non Verbal (Non-Verbal Communication)
    Komunikasi non-verbal adalah kontak mata, ekspresi wajah, penampilan fisik, nada suara, gerakan
    tubuh, pakaian dan aksesoris yang kita gunakan semuanya memberikan efek atau pengaruh yang
    cukup besar terhadap penyampaian pesan

    Hal yang perlu diperhatikan dalam (bahasa tubuh/sikap tubuh) adalah :

  • Eye contact 50%-70%
  • = kontak mata
  • Facial expression
  • = ekspresi wajah (merengut, senyum, tampang marah dsb)
  • Body posture
  • = postur tubuh
  • Touch
  • = sentuhan (tapi hati- hati)
  • Acsesories
  • = perlengkapan badan dan pakaian

    D. Proses komunikasi Non Verbal

    Menyambut dengan hormat, senyum, kemudian merekatkan kedua tangan.


    Berjabat tangan tanda setuju dan kompak.


    Komunikasi Massa


    Definisi Komunikasi Massa

    Komunikasi massa dalam arti sempit adalah proses dimana organisasi media membuat dan menyebarkan pesan kepada khalayak banyak (publik). Dalam arti luas komunikasi dapat di devinisikan sebagai proses komunikasi yang berlangsung dimana pesannya di kirim dari sumber yang melembaga kepada khalayak yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanis seperti radio, televise, surat kabar dan film. Pesan komunikasi massa berlangsung satu arah dan tanggapan baliknya lamban (tertunda) dan sangat terbatas.

    Beberapa defenisi komunikasi massa.

    • Komunikasi massa adalah proses di mana informasi diciptakan dan disebarkan oleh organisasi untuk dikonsumsi oleh khalayak (Ruben, 1992)
    • Komunikasi massa adalah pesan-pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah orang. (Bittner, 1980)
    • Komunikasi massa adalah suatu proses dalam mana komunikator-komunikator menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas, dan secara terus menerus menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai cara. (DeFleur dan Denis, 1985).

    Ciri-ciri komunikasi massa

    1. Menggunakan media masa dengan organisasi (lembaga media) yang jelas.
    2. Komunikator memiliki keahlian tertentu pesan searah dan umum, serta melalui proses produksi dan terencana.
    1. Khalayak yang dituju heterogen dan anonym.
    2. Kegiatan media masa teratur dan berkesinambungan.
    3. Ada pengaruh yang dikehendaki.
    4. Dalam konteks sosial terjadi saling mempengaruhi antara media dan kondisi masyarakat serta sebaliknya.
    5. Hubungan antara komunikator (biasanya media massa) dan komunikan (pemirsanya) tidak bersifat pribadi.

    Efek komunikasi masa terhadap individu

    Menurut Steven A. Chafee, komunikasi masa memiliki efek-efek berikut terhadap individu:

    1. Efek ekonomis: menyediakan pekerjaan, menggerakkan ekonomi (contoh: dengan adanya industri media massa membuka lowongan pekerjaan)
    2. Efek sosial: menunjukkan status (contoh: seseorang terkadang dinilai dari media massasurat kabar pos kota memiliki pembaca berbeda dibandingkan dengan pembaca surat kabar Kompas. yang ia baca, seperti
    3. Efek penjadwalan kegiatan
    4. Efek penyaluran/ penghilang perasaan
    5. Efek perasaan terhadap jenis media

    Menurut Kappler (1960) komunikasi masa juga memiliki efek:

    conversi, yaitu menyebabkan perubahan yang diinginkan dan perubahan yang tidak diinginkan.

    1. memperlancar atau malah mencegah perubahan.
    2. memperkuat keadaan (nilai, norma, dan ideologi) yang ada.

    3

    Tipe dan Jaringan Komunikasi

    Dalam ilmu komunikasi, tipe komunikasi dibagi menjadi dua, yaitu tipe komunikasi primer dan sekunder. Pertama, tipe komunikasi primer: komunikasi yang bersifat langsung (face to face) baik dengan menggunakan bahasa, gerakan yang diartikan secara khusus, ataupun aba-aba. Tipe komunikasi ini bisa berbentuk pertemuan, kelompok (kuliah) maupun massa seperti tabligh akbar, acara pameran, dll. Betapapun besarnya, pengaruh komunikasi jenis ini tidak dapat melalui sebuah wilayah geografis yang sangat sempit dan terbatas. Kedua, tipe komunikasi sekunder, adalah komunikasi yang menggunakan alat, media seperti menggunakan surat (interpersonal), menonton pagelaran nasyid (kelompok), maupun media koran atau TV (massa), yang berfungsi untuk melipatgandakan penerima, sehingga dapat mengatasi hambatan geografis dan waktu.

    Jaringan komunikasi terdiri dari jaringan komunikasi tradisional dan jaringan komunikasi modern. Ciri pola komunikasi tradisional adalah bahwa komunikasi ini berlangsung secara tatap muka, sehingga terjelma hubungan interpersonal yang mendalam, hubungan dengan status yang berbeda (patron client), serta pemberi pesan dinilai oleh penerima berdasarkan identitasnya (lebih pada siapa yang berbicara, bukan isi dari apa yang dibicarakan). Sedangkan jaringan komunikasi modern, cirinya adalah adanya inovator (penggagas, pencipta media), dan melalui media massa yang bersifat simultan, lebih umum, dan komunikannya heterogen. Media yang dapat digunakan dalam kegiatan hubungan masyarakat:

    a. The printed word, termasuk majalah, surat kabar, surat, buletin, iklan, dan lain sebagainya.

    b. The spoken word, yang meliputi rapat, konferensi, pertemuan-pertemuan, dll.


    c. Media lainnya (dapat berupa spoken word, dan dapat juga bukan. Seperti Televisi, radio, pameran, sandiwara, dll.

    4

    Perkembangan yang semakin pesat di bidang teknologi komunikasi memiliki pengaruh yang besar terhadap kegiatan penyebar luasan informasi. Ini berarti pula berpengaruh terhadap kegiatan hubungan masyarakat. Media massa (pers, televisi, radio, film) sangat membantu kegiatan hubungan masyarakat. Dengan menggunakan media massa ini penyebar luasan informasi bukan saja sangat luas tetapi juga cepat dan serempak. Penggunaan media massa dalam kegiatan hubungan masyarakat ini pada umumnya berupa publicity dan advertising.

    Membahas masalah media dalam masyarakat, sebenarnya yang menjadi permasalahan ialah bagaimana memilih media yang tepat dalam kegiatan hubungan masyarakat, agar dapat seefisien mungkin tercapai hasil yang efektif, sehingga tujuan dari kegiatan hubungan masyarakat yang dilakukan oleh lembaga/instansi dapat tercapai. Untuk ini, pada umumnya harus ditentukan terlebih dahulu pesan apa yang hendak disampaikan, dan jumlah publik yang akan dicapai. Misalkan saja untuk mencapai publik yang luas tentu harus menggunakan media yang cakupannya lebih luas pula, seperti surat kabar, misalnya. Namun sebaliknya, jika yang dituju sekedar masyarakat sekitar, maka cukup dengan melalui personal contact, dan dapat diikuti dengan pertemuan-pertemuan lainnya.

    3. TEORI KOMUNIKASI MASSA TERHADAP INDIVIDU

    Teori-teori yang terangkum dalam bagian terdahulu menekankan pada hasil publik dan kebudayaan dari komunikasi massa. Perkembangan kajian teori komunikasi massa lainnya, yang akan dibahas dalam bagian ini menekankan pada pengaruh individual dari komunikasi massa. Pada bagian ini, kita membahas beberapa dari teori tradisi pengaruh-individu dalam studi mengenai komunikasi massa.

    Teori Pengaruh Tradisi (The Effect Tradition)
    Teori pengaruh komunikasi massa dalam perkembangannya telah mengalami perubahan yang kelihatan berliku-liku dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti percaya pada teori pengaruh komunikasi “peluru ajaib” (bullet theory) Individu-individu dipercaya sebagai dipengaruhi langsung dan secara besar oleh pesan media, karena media dianggap berkuasa dalam membentuk opini publik. Menurut model ini, jika Anda melihat iklan Close Up maka setelah menonton iklan Close Up maka Anda seharusnya mencoba Close Up saat menggosok gigi.
    Kemudian pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua langkah (two step flow) menjadi populer, media pengaruh dianggap sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang minimal. Misalnya iklan Close Up dipercaya tidak akan secara langsung mempengaruhi banyak orang-orang untuk mencobanya. Kemudian dalam 1960-an, berkembang wacana baru yang mendukung minimalnya pengaruh media massa, yaitu bahwa pengaruh media massa juga ditengahi oleh variabel lain. Suatu kekuatan dari iklan Close Up secara komersil atau tidak untuk mampu mempengaruhi khalayak agar mengkonsumsinya, tergantung pada variabel lain. Sehingga pada saat itu pengaruh media dianggap terbatas (limited-effects model).

    Sekarang setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak ilmuwan komunikasi sudah kembali ke powerful-effects model, di mana media dianggap memiliki pengaruh yang kuat, terutama media televisi.Ahli komunikasi massa yang sangat mendukung keberadaan teori mengenai pengaruh kuat yang ditimbulkan oleh media massa adalah Noelle-Neumann melalui pandangannya mengenai gelombang kebisuan.

    Uses, Gratifications and Depedency
    Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?” (McQuail, 2002 : 388). Di sini sikap dasarnya diringkas sebagai berikut :

    Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345).

    Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).

    Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media – persons interactions sebagai berikut :
    Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi
    Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial
    Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai
    Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).
    Seperti yang telah kita diskusikan di atas, uses and gratifications merupakan suatu gagasan menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi terhadap berbagai hal secara lebih mendalam. Untuk itu mari sekarang kita mendiskusikan beberapa perluasan dari pendekatan yang dilakukan dengan teori uses and gratifications.

    Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)
    Phillip Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur kelekatan yang ada di dalam teori uses and gratification dengan menciptakan suatu teori yang disebutnya sebagai expectance-value theory (teori pengharapan nilai).
    Dalam kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang Anda cari dari media ditentukan oleh sikap Anda terhadap media --kepercayaan Anda tentang apa yang suatu medium dapat berikan kepada Anda dan evaluasi Anda tentang bahan tersebut. Sebagai contoh, jika Anda percaya bahwa situated comedy (sitcoms), seperti Bajaj Bajuri menyediakan hiburan dan Anda senang dihibur, Anda akan mencari kepuasan terhadap kebutuhan hiburan Anda dengan menyaksikan sitcoms. Jika, pada sisi lain, Anda percaya bahwa sitcoms menyediakan suatu pandangan hidup yang tak realistis dan Anda tidak menyukai hal seperti ini Anda akan menghindari untuk melihatnya.

    Teori Ketergantungan (Dependency Theory)
    Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.
    Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media. Lalu apa yang sebenarnya melandasi ketergantungan khalayak terhadap media massa ?

    Ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan menjadi lebih tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak bersangkutan dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa kebutuhan saja. Jika misalnya, Anda mengikuti perkembangan persaingan antara Manchester United, Arsenal dan Chelsea secara serius, Anda mungkin akan menjadi tergantung pada tayangan langsung Liga Inggris di TV 7. Sedangkan orang lain yang lebih tertarik Liga Spanyol dan tidak tertarik akan Liga Inggris mungkin akan tidak mengetahui bahwa situs TV 7 berkaitan Liga Inggris telah di up date, atau tidak melihat pemberitaan Liga Inggris di Harian Kompas.

    Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial.
    Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi.

    Riset Eksperimen
    Riset eksperimen (experimental research) merupakan pengujian terhadap efek media dibawah kondisi yang dikontrol secara hati-hati. Walaupun penelitian yang menggunakan riset eksperimen tidak mewakili angka statistik secara keseluruhan, namun setidaknya hal ini bisa diantisipasi dengan membagi obyek penelitian ke dalam dua tipe yang berada dalam kondisi yang berbeda.
    Riset eksperimen yang paling berpengaruh dilakukan oleh Albert Bandura dan rekan-rekannya di Stanford University pada tahun 1965. Mereka meneliti efek kekerasan yang ditimbulkan oleh tayangan sebuah film pendek terhadap anak-anak. Mereka membagi anak-anak tersebut ke dalam tiga kelompok dan menyediakan boneka Bobo Doll, sebuah boneka yang terbuat dari plastik, di setiap ruangan. Kelompok pertama melihat tayangan yang berisi adegan kekerasan berulang-ulang, kelompok kedua hanya melihat sebentar dan kelompok ketiga tidak melihat sama sekali.
    Ternyata setelah menonton, kelompok pertama cenderung lebih agresif dengan melakukan tindakan vandalisme terhadap boneka Bobo Doll dibandingkan dengan kelompok kedua dan ketiga. Hal ini membuktikan bahwa media massa memiliki peran membentuk karakter khalayaknya.
    Kelemahan metode ini adalah berkaitan dengan generalisasi dari hasil penelitian, karena sampel yang diteliti sangat sedikit, sehingga sering muncul pertanyaan mengenai tingkat kemampuannya untuk diterapkan dalam kehidupan nyata (generalizability). Kelemahan ini kemudian sering diusahan untuk diminimalisir dengan pembuatan kondisi yang dibuat serupa mungkin dengan keadaan di dunia nyata atau yang biasa dikenal sebagai ecological validity

    Survey
    Metode survey sangat populer dewasa ini, terutama kemanfaatannya untuk dimanfaatkan sebagai metode dasar dalam polling mengenai opini publik. Metode survey lebih memiliki kemampuan dalam generalisasi terhadap hasil riset daripada riset eksperimen karena sampelnya yang lebih representatif dari populasi yang lebih besar. Selain itu, survey dapat mengungkap lebih banyak faktor daripada manipulasi eksperimen, seperti larangan untuk menonton tayangan kekerasan seksual di televisi dan faktor agama. Hal ini akan diperjelas dengan contoh berikut.
    Seorang peneliti melakukan penelitian mengenai efek menonton tayangan kekerasan seksual terhadap remaja. Yang pertama dilakukannya adalah menentukan sampel, kemudian membuat variabel independen yang berupa terpaan media (seperti, “Berapa kali Anda menonton tayangan kekerasan seksual di televisi dalam minggu kemarin ?”). Kemudian ditanyakan efek media massa yang menjadi variabel dependen, seperti kekerasan seksual yang dilakukan responden. Keduanya kemudian dibuat skala pengukuran yang tepat (ordinal, nominal atau interval). Setelah itu, diukur dengan rumus statistik yang sesuai (Straubhaar dan Larose, 1997 :414).

    Riset Ethnografi
    Riset etnografi (ethnografic research) mencoba melihat efek media secara lebih alamiah dalam waktu dan tempat tertentu. Metode ini berasal dari antropologi yang melihat media massa dan khalayak secara menyeluruh (holistic), sehingga tentu saja relatif membutuhkan waktu yang lama dalam aplikasi penelitian. Dalam penelitian yang menggunakan metode ini, para peneliti menggunakan teknik observasi, pencatatan dokumen dan wawancara mendalam. Dalam melakukan wawancara mendalam, peneliti harus mampu mengeksplorasi beragam informasi dari responden, tanpa melalui pertanyaan yang sifatnya kaku sebagaimana penelitian survey (Straubhaar dan Larose, 1997 :417). Peneliti hanya memerlukan daftar pertanyaan sebagai acuan dalam wawancara yang dapat dikembangkan secara lentur ketika mengadakan wawancara, sehingga daftar pertanyaan dalam metode ini dinamakan sebagai petunjuk wawancara (interview guide).
    Misalnya, peneliti yang melakukan penelitian mengenai efek kehadiran media televisi terhadap kebudayaan penduduk Samin, sebuah sub suku Jawa yang hidup di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang selama ini terkenal dengan ketertutupannya dengan dunia luar. Yang dilakukan peneliti adalah mengamati secara seksama bagaimana masyarakat Samin mengkonsumsi televisi. Ikut bersama mereka menonton televisi, untuk mengamati apa saja yang mereka lakukan dan komentari pada saat menonton televisi, kemudian setelah itu mewawancarai mereka secara mendalam mengenai apa yang telah mereka tonton. Setalah itu semuanya dicatat secara lengkap, sehingga hasil dari penelitian ini kemudian akan sangat kaya informasi yang mendalam. Straubhaar dan Larose, 1997 :415).

    Efek Komunikasi Massa

    Komunikasi merupakan suatu kegiatan penyampaian pesan dari seorang komunikator kepada komunikan dimana komunikan akan memberikan umpan balik kepada komunikator sebagai umpan balik atau tanggapan dari pesan yang di terimanya. Komunikasi dapat berupa komunikasi internal dan eksternal, komunikasi internal merupakan sebuah komunikasi yang dilakukan seorang individu terhadap dirinya sendiri mengenai apa yang hendak dilakukan. Sedangkan komunikasi eksternal merupakan komunikasi seorang individu dengan orang lain seperti halnya percakapan yang kita lakukan dalam sehari-hari.

    Di sisi lain terdapat juga sebuah komunikasi yang disebut dengan komunikasi massa yakni sebuah komunikasi yang di tujukan kepada khalayak dengan menggunakan media massa atau dapat juga komunikasi secara langsung seperti halnya pada acara seminar-seminar atau diskusi panel. Komunikasi massa tiak hanya memberi dampak yang positif dalam penerimaan sebuh pesan tapi kadang juga menimbulkan efek pada kognitif, afektif, dan behavioristik.

    Ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu: kognitif, afektif, dan behavioristik. Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar dan tambahan pengetahuan. Efek efektif berhubungan dengan emosi, perasaan, dan attitude (sikap). Sedangkan efek behavioristik berhubungan dengan perilaku dan niat untuk melakukan sesuatu menurut cara tertentu.

    Sebuah komunikasi massa dapat dikatakan mampu memberi efek proposial kognitif ketika kita tahu setelah seseorang membaca atau melihat televisi mampu dan lebih mengerti bagaimana cara penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Akan tetapi dalam hal ini kadang komunikasi masa tidak memberi efek yang proposial tapi kadang malah merubah citra dari para pemirsa, pembaca maupun pendengar dimana citra itu akan diruah sesuai dengan apa yan menjadi tujuan penyampaian pesan.

    Dalam efek afektif komunikasi massa juga dapat memberikan efek yang proposial setelah kita menyaksikan atau bahkan mengalami dimana setelah kita membaca majalah atau melihat yang di dalamnya memuat berita mengenai kemiskinan atau suatu hal yan membuat perasaan kita menjadi ikut terbawa dalam situasi tersebut sehingga kita terdorong untuk melakakukan kebaikan terhadap apa yang kita lihat. Yakni membuat fungsi afeksi kita menjadi lebih peka terhadap lingkungan yang ada disekitar kita.

    Kemudian begitu juga dalam efek behavioral, komunikasi massa akan terkesan menghasilakan efek yang proposial dalam behavioral ketika kita menyaksikan sebuah tayangan-tayangan televisi yang mampu membuat kita terpengaruh menjadi lebih terampil atau mungkin lebih bisa bersikap sebagaimana yang sesuai dengan diri kita, atau ketika kita membaca sebuah majalah yang di dalamnya memuat pasan- pesan yang dapat meningakatkan skill kita dalam kehidupan sehari-hari. Namun dalam efek ini terdapat juga sisi negatifnya dan kita dapat merasakan itu merupakan suatu efek behavioral yang negatif dari adanya komunikasi massa ketika kita melihat kasus pemerkosaan yang terjadi setelah tersangka menyaksikan adegan-adegan pornoaksi pada layar kaca, atau mungkin juga adegan pornografi pada sebuah majalah yang mana pesan tersebut akan merngsang pada khalayak yang berperan sebagai komunikan.

    Sebenarnya kalau diamati lebih detail lagi yang maenbawa dampak tidak hanya pesan yang disampaikan dalam komunikasi massa akan tetapi mediannya sendiri juga membawa dampak. Yang mungkin pada awalnya yang menjadi perhatian adalah pesan yang disampaikan akan tatapi lama kelamaan mediannyalah yang lebih diperhatikan tanpa melihat isi pesan yang ingin disampaikan dalam komunikasi massa tersebut.


    Kadang media masa menjadikan seseorang lebih percaya terhadap media tersebut di bandingkan dengan lingkungan sekitarnya, misalnya saja pada seorang anak yang kesehariannya lebih dipenuhi dengan acara-acara televisi dibandingkan dengan bimbingan orang tuanya maka anak tersebut akan lebih percaya pada televisi dari pada percaya pada orang tuanya. Hal itu mungkin terjadi karena sebuah pangalaman pribadi yang sangat mengena yang berkenaan dengan media massa tersebut.

    Mengapa terjadi efek yang berbeda? Belajar dari media massa memang tidak bergantung hanya ada unsur stimuli dalam media massa saja. Kita memerlukan teori psikologi yang menjelaskan peristiwa belajar semacam ini. Teori psikolog yang dapat menjelaskan efek prososial adalah teori belajar sosial dari Bandura. Menurutnya, kita belajar bukan saja dari pengelaman langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil faktor-faktor kognitif dan lingkungan. Artinya, kita mampu memiliki keterampilan tertentu, bila terdapat jalinan positif antara stimuli yang kita amati dan karakteristik diri kita.

    Bandura menjelaskan proses belajar sosial dalam empat tahapan proses: proses perhatian, proses pengingatan (retention), proses reproduksi motoris, dan proses motivasional.

    Permulaan proses belajar ialah munculnya peristiwa yang dapat diamati secara langsung atau tidak langsung oleh seseorang. Peristiwa ini dapat berupa tindakan tertentu (misalnya menolong orang tenggelam) atau gambaran pola pemikiran, yang disebut Bandura sebagai “abstract modeling” (misalnya sikap, nilai, atau persepsi realitas sosial). Kita mengamati peristiwa tersebut dari orang-orang sekita kita.bila peristiwa itu sudah dianati, terjadilah tahap pertama belajar sosial: perhatian. Kita baru pata mempelajari sesuatu bila kita memperhatikannya. Setiap saat kita menyaksikan berbagai peristiwa yang dapat kita teladani, namun tidak semua peristiwa itu kita perhatikan.

    Perhatian saja tidak cukup menghasilkan efek prososial. Khalayak harus sanggup menyimpan hasil pengamatannya dalam benak-benaknya dan memanggilnya kembali ketika mereka akan bertindak sesuai dengan teladan yang diberikan. Untuk mengingat, peristiwa yang diamati harus direkam dalam bentuk imaginal dan verbal. Yang pertama disebut visual imagination, yaitu gambaran mental tentang peristiwa yang kita amati dan menyimpan gambaran itu pada memori kita. Yang kedua menunjukkan representasi dalam bentuk bahasa. Menurut Bandura, agar peristiwa itu dapat diteladani, kita bukan saja harus merekamnya dalam memori, tetapi juga harus membayangkan secara mental bagaimana kita dapat menjalankan tindakan yang kita teladani. Memvisualisasikan diri kita sedang melakukan sesuatu disebut seabagi “rehearsal”.

    Selanjutnya, proses reroduksi artinya menghasilkan kembali perilaku atau tindakan yang kita amati. Tetapi apakah kita betul-betul melaksanakan perilaku teladan itu bergantung pada motivasi? Motivasi bergantung ada peneguhan. Ada tiga macam peneguhan yang mendorong kita bertindak: peneguhan eksternal, peneguhan gantian (vicarious reinforcement), dan peneguhan diri (self reinforcement). Pelajaran bahasa Indonesia yang baik dan benar telah kita simpan dalam memori kita. Kita bermaksud mempraktekkannya dalam percakapan dengan kawan kita. Kita akan melakukan hanya apabila kita mengetahui orang lain tidak akan mencemoohkan kitam atau bila kita yakin orang lain akan menghargai tindakan kita. Ini yang disebut peneguhan eksternal.

    Kita juga akan terdorong melakukan perilaku teladan baik kita melihat orang lain yang berbuat sama mendapat ganjaran karena perbuatannya. Secara teoritis, agak sukar orang meniru bahasa Indonesia yang benar bila pejabat-pejabat yang memiliki reutasi tinggi justru berbahasa Indonesia yang salah. Kita memerlukan peneguhan gantian. Walaupun kita tidak mendaat ganjaran (pujian, penghargaan, status, dn sebagainya), tetapi melihat orang lain mendapat ganjaran karena perbuatan yang ingin kita teladani membantu terjadinya reproduksi motor.

    Akhirnya tindakan teladan akan kita lakukan bila diri kita sendiri mendorong tindakan itu. Dorongan dari diri sendiri itu mungkin timbul dari perasaan puas, senang, atau dipenuhinya citra diri yang ideal. Kita akan mengikuti anjuran berbahasa Indonesia yang benar bila kita yakin bahwa dengan cara itu kita memberikan kontribusi bagi kelestarian bahasa Indonesia.

    Fenomena Media Modern (Televisi, HP, dan Internet)

    Seiring dengan kemajuan teknologi, komunikasi semakin mudah dilakukan. Karena berbagai media komunikasi kini tersedia dalam berbagai versi, sebagai contohnya adalah TV, hp dan internet. Namun, jika kita teliti kembali, media-media tersebut memiliki pengaruh besar bagi kehidupan kita. Baik itu positif ataupun negatif. Oleh karena itu, dalam pertemuan kali ini, kita akan membahas fenomena media modern tersebut bagi kehidupan kita berikut manfaat media modern dan bahaya, serta contohnya.

    a. TV (televisi)

    Pengaruh TV terhadap sistem komunikasi tidak lepas dari pengaruh terhadap aspek-aspek kehidupan pada umumnya. Bahwa TV menimbulkan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Sudah banyak yang mengetahui dan merasakannya. Namun, sejauh mana pengaruh yang positif dan yang negatif, belum diketahui banyak. Oleh karena itu, dalam makalah ini, kami akan membahas pengaruh negatif dari TV.

    Peran merusak dari media komunikasi modern, khususnya TV terhadap sebuah generasi dapat dilihat dari dua aspek sebagai berikut:

    1) Dari aspek kehadirannya:

    Terjadinya perubahan penjadwalan kegiatan sehari-hari terlebih bagi keluarga Islam. Sebagai contoh adalah, waktu selepas maghrib yang biasanya digunakan anak-anak untuk mengaji dan belajar agama berubah dengan menonton acara-acara yang dominan tidak bermanfaat atau bahkan merusak. Sementara bagi para remaja dan orangtua, selepas bekerja atau sekolah dibandingkan datang ke pengajian dan majlis-majlis ta’lim atau membaca buku, mereka lebih senang menghabiskan waktunya dengan menonton TV.

    2) Dari aspek isinya:

    Berbicara mengenai isi yang ditampilkan oleh media massa diantaranya adalah mengenai penokohan/orang-orang yang diidolakan. Media massa yang ada tidak berusaha untuk ikut mendidik bangsa dan masyarakat dengan menokohkan para ulama ataupun ilmuwan serta orang-orang yang dapat mensupport bagi terbangunnya bangsa agar dapat mencapai kemajuan (baik IMTAK maupun IPTEK) sebagaimana yang digembar-gemborkan, sebaliknya justru tokoh yang terus-menerus diekspos dan ditampilkan adalah para selebriti yang menjalankan gaya hidup borjuis, menghambur-hamburkan uang jauh dari memiliki IPTEK apalagi dari nilai-nlai agama. Hal ini jelas demikian besar dampaknya kepada generasi muda dalam memilih dan menentukan gaya hidup serta cita-citanya dan tentunya pada kualitas bangsa dan negara.

    b. HP (Handphone)

    Komunikasi melalui hp adalah bentuk revolusi komunikasi yang melanda Indonesia. Bahkan para remaja dan anak muda kini banyak yang menggunakan hp. Dengan kata lain, hp menjadi fenomena baru dalam sistem komunikasi di Indonesia. Dalam artian, memperlancar sistem komunikasi di Indonesia. Komunikasi bukan sekedar dijalankan melalui pesawat telepon rumah. Sebagai contoh, ketika kita berada di jalan dan kita membawa hp, maka kita tinggal memencet nomor yang dituju. Di sinilah komunikasi nir massa sedang menemukan perkembangannya.

    1) Manfaat HP:

    a. Lebih praktis dan ekonomis.

    b. Mudah dijangkau dimanapun kita berada

    c. Sebagai media dakwah, bisnis, dll.

    2) Bahaya HP:

    Segi kesehatan:

    Efek radiasi HP. Contoh: ketika kita berkomunikasi melalui HP, suara kita akan berubah menjadi gelombang elektromagnetik yang dapat mempengaruhi produksi sel-sel otak hingga berkembang abnormal dan potensial menjadi sel kanker.

    Segi ekonomi:

    Komunikasi dengan HP memunculkan praktik bisnis illegal. Contoh: Penipuan yang dilakukan seseorang dengan mengirim sms kepada kita bahwa kita telah memenangkan undian atau semacamnya tanpa kita ketahui kejelasannya.

    Segi etika:

    a. Fenomena komunikasi dengan menggunakan HP tidak mengindahkan etika dalam penggunaannya. Contoh: suatu kelompok tertentu melobi melalui hp untuk menggulingkan kursi jabatan seseorang, hal ini termasuk melanggar etika.

    b. Penggunaan HP di Indonesia lebih digunakan untuk gaya hidup bukan untuk kebutuhan berkomunikasi. Contoh: banyak sekali kita temui remaja saat ini membawa HP dengan dipegang atau dikalungkan di leher.

    c. Menurunkan minat baca masyarakat. Menurut data majalah komputer aktif (no. 50/26 Maret 2003) berdasarkan survei Siemens Mobile Lifestyle III menyebutkan bahwa 60 persen remaja usia 15-19 tahun dan pascaremaja lebih senang mengirim dan membaca SMS dari pada membaca buku, majalah, atau koran.

    c. Internet

    Sebagaimana dengan media komunikasi modern lainnya, internet juga mempunyai manfaat bagi masyarakat dalam mencari informasi/mengakses informasi. Namun, hal positif dari Internet ternyata dapat berakibat buruk bila digunakan secara tidak bertanggung jawab. Dengan kata lain, internet juga mempunyai dampak negatif. Dengan demikian, dalam makalah ini kami akan membahas sekelumit dari sekian banyaknya dampak positif maupun negatif dari internet serta pengaruhnya bagi masyarakat.

    1) Dampak positif internet:

    a. Mudah mengakses/mendapatkan informasi yang di inginkan.

    b. Sebagai ajang sillaturrahim. Sebagai contoh adalah: dapat menemukan teman lama yang jauh dan jarang bertemu.

    c. Sebagai media bisnis dan dakwah.

    d. Menambah wawasan intelektual kita.

    2) Dampak negatif internet:

    a. Merusak kecerdasan dan nilai moral masyarakat, baik orang dewasa, remaja ataupun anak-anak.

    b. Bahayanya situs pornografi yang meluas dikalangan masyarakat.

    c. Mengakibatkan kecanduan. Dengan kata lain, membuat pengguna betah untuk berlama-lama di internet sehingga melupakan kewajibannya.

    d. Sebagai ajang predator seksual. Sebagai contoh, banyak para pemangsa/predator seksual memanfaatkan ruang rumpi(chatting room) untuk berkenalan, kemudian mengajak berhubungan seksual.

    Komunikasi massa dalam arti sempit adalah proses dimana organisasi media membuat dan menyebarkan pesan kepada khalayak banyak (publik). Dalam arti luas komunikasi dapat di devinisikan sebagai proses komunikasi yang berlangsung dimana pesannya di kirim dari sumber yang melembaga kepada khalayak yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanis seperti radio, televise, surat kabar dan film.

    Pesan komunikasi massa berlangsung satu arah dan tanggapan baliknya lamban (tertunda) dan sangat terbatas.

    Beberapa defenisi komunikasi massa.

    • Komunikasi massa adalah proses di mana informasi diciptakan dan disebarkan oleh organisasi untuk dikonsumsi oleh khalayak (Ruben, 1992)
    • Komunikasi massa adalah pesan-pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah orang. (Bittner, 1980)
    • Komunikasi massa adalah suatu proses dalam mana komunikator-komunikator menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas, dan secara terus menerus menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai cara. (DeFleur dan Denis, 1985)

    Ciri-ciri komunikasi massa

    1. Menggunakan media masa dengan organisasi (lembaga media) yang jelas.
    2. Komunikator memiliki keahlian tertentu
    3. Pesan searah dan umum, serta melalui proses produksi dan terencana
    4. Khalayak yang dituju heterogen dan anonim
    5. Kegiatan media masa teratur dan berkesinambungan
    6. Ada pengaruh yang dikehendaki
    7. Dalam konteks sosial terjadi saling mempengaruhi antara media dan kondisi masyarakat serta sebaliknya.
    8. Hubungan antara komunikator (biasanya media massa) dan komunikan (pemirsanya) tidak bersifat pribadi.

    Efek komunikasi masa terhadap individu

    Menurut Steven A. Chafee, komunikasi masa memiliki efek-efek berikut terhadap individu:

    1. Efek ekonomis: menyediakan pekerjaan, menggerakkan ekonomi (contoh: dengan adanya industri media massa membuka lowongan pekerjaan)
    2. Efek sosial: menunjukkan status (contoh: seseorang terkadang dinilai dari media massa yang ia baca, seperti surat kabar pos kota memiliki pembaca berbeda dibandingkan dengan pembaca surat kabar Kompas.
    3. Efek penjadwalan kegiatan
    4. Efek penyaluran/ penghilang perasaan
    5. Efek perasaan terhadap jenis media

    Menurut Kappler (1960) komunikasi masa juga memiliki efek:

    1. conversi, yaitu menyebabkan perubahan yang diinginkan dan perubahan yang tidak diinginkan.
    2. memperlancar atau malah mencegah perubahan
    3. memperkuat keadaan (nilai, norma, dan ideologi) yang ada.

    Catatan kaki

    1. ^ (en) Littlejohn, Stephen W. Theories of Human Communication. Seventh edition.

    TEORI KOMUNIKASI MASSA TERHADAP INDIVIDU

    Oleh :Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

    Teori-teori yang terangkum dalam bagian terdahulu menekankan pada hasil publik dan kebudayaan dari komunikasi massa. Perkembangan kajian teori komunikasi massa lainnya, yang akan dibahas dalam bagian ini menekankan pada pengaruh individual dari komunikasi massa. Pada bagian ini, kita membahas beberapa dari teori tradisi pengaruh-individu dalam studi mengenai komunikasi massa.

    Teori Pengaruh Tradisi (The Effect Tradition)
    Teori pengaruh komunikasi massa dalam perkembangannya telah mengalami perubahan yang kelihatan berliku-liku dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti percaya pada teori pengaruh komunikasi “peluru ajaib” (bullet theory) Individu-individu dipercaya sebagai dipengaruhi langsung dan secara besar oleh pesan media, karena media dianggap berkuasa dalam membentuk opini publik. Menurut model ini, jika Anda melihat iklan Close Up maka setelah menonton iklan Close Up maka Anda seharusnya mencoba Close Up saat menggosok gigi.
    Kemudian pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua langkah (two step flow) menjadi populer, media pengaruh dianggap sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang minimal. Misalnya iklan Close Up dipercaya tidak akan secara langsung mempengaruhi banyak orang-orang untuk mencobanya. Kemudian dalam 1960-an, berkembang wacana baru yang mendukung minimalnya pengaruh media massa, yaitu bahwa pengaruh media massa juga ditengahi oleh variabel lain. Suatu kekuatan dari iklan Close Up secara komersil atau tidak untuk mampu mempengaruhi khalayak agar mengkonsumsinya, tergantung pada variabel lain. Sehingga pada saat itu pengaruh media dianggap terbatas (limited-effects model).

    Sekarang setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak ilmuwan komunikasi sudah kembali ke powerful-effects model, di mana media dianggap memiliki pengaruh yang kuat, terutama media televisi.Ahli komunikasi massa yang sangat mendukung keberadaan teori mengenai pengaruh kuat yang ditimbulkan oleh media massa adalah Noelle-Neumann melalui pandangannya mengenai gelombang kebisuan.

    Uses, Gratifications and Depedency
    Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?” (McQuail, 2002 : 388). Di sini sikap dasarnya diringkas sebagai berikut :

    Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345).

    Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).

    Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media – persons interactions sebagai berikut :
    Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi
    Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial
    Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai
    Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).
    Seperti yang telah kita diskusikan di atas, uses and gratifications merupakan suatu gagasan menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi terhadap berbagai hal secara lebih mendalam. Untuk itu mari sekarang kita mendiskusikan beberapa perluasan dari pendekatan yang dilakukan dengan teori uses and gratifications.

    Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)
    Phillip Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur kelekatan yang ada di dalam teori uses and gratification dengan menciptakan suatu teori yang disebutnya sebagai expectance-value theory (teori pengharapan nilai).
    Dalam kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang Anda cari dari media ditentukan oleh sikap Anda terhadap media --kepercayaan Anda tentang apa yang suatu medium dapat berikan kepada Anda dan evaluasi Anda tentang bahan tersebut. Sebagai contoh, jika Anda percaya bahwa situated comedy (sitcoms), seperti Bajaj Bajuri menyediakan hiburan dan Anda senang dihibur, Anda akan mencari kepuasan terhadap kebutuhan hiburan Anda dengan menyaksikan sitcoms. Jika, pada sisi lain, Anda percaya bahwa sitcoms menyediakan suatu pandangan hidup yang tak realistis dan Anda tidak menyukai hal seperti ini Anda akan menghindari untuk melihatnya.

    Teori Ketergantungan (Dependency Theory)
    Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.
    Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media. Lalu apa yang sebenarnya melandasi ketergantungan khalayak terhadap media massa ?

    Ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan menjadi lebih tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak bersangkutan dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa kebutuhan saja. Jika misalnya, Anda mengikuti perkembangan persaingan antara Manchester United, Arsenal dan Chelsea secara serius, Anda mungkin akan menjadi tergantung pada tayangan langsung Liga Inggris di TV 7. Sedangkan orang lain yang lebih tertarik Liga Spanyol dan tidak tertarik akan Liga Inggris mungkin akan tidak mengetahui bahwa situs TV 7 berkaitan Liga Inggris telah di up date, atau tidak melihat pemberitaan Liga Inggris di Harian Kompas.

    Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial.
    Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi.

    Riset Eksperimen
    Riset eksperimen (experimental research) merupakan pengujian terhadap efek media dibawah kondisi yang dikontrol secara hati-hati. Walaupun penelitian yang menggunakan riset eksperimen tidak mewakili angka statistik secara keseluruhan, namun setidaknya hal ini bisa diantisipasi dengan membagi obyek penelitian ke dalam dua tipe yang berada dalam kondisi yang berbeda.
    Riset eksperimen yang paling berpengaruh dilakukan oleh Albert Bandura dan rekan-rekannya di Stanford University pada tahun 1965. Mereka meneliti efek kekerasan yang ditimbulkan oleh tayangan sebuah film pendek terhadap anak-anak. Mereka membagi anak-anak tersebut ke dalam tiga kelompok dan menyediakan boneka Bobo Doll, sebuah boneka yang terbuat dari plastik, di setiap ruangan. Kelompok pertama melihat tayangan yang berisi adegan kekerasan berulang-ulang, kelompok kedua hanya melihat sebentar dan kelompok ketiga tidak melihat sama sekali.
    Ternyata setelah menonton, kelompok pertama cenderung lebih agresif dengan melakukan tindakan vandalisme terhadap boneka Bobo Doll dibandingkan dengan kelompok kedua dan ketiga. Hal ini membuktikan bahwa media massa memiliki peran membentuk karakter khalayaknya.
    Kelemahan metode ini adalah berkaitan dengan generalisasi dari hasil penelitian, karena sampel yang diteliti sangat sedikit, sehingga sering muncul pertanyaan mengenai tingkat kemampuannya untuk diterapkan dalam kehidupan nyata (generalizability). Kelemahan ini kemudian sering diusahan untuk diminimalisir dengan pembuatan kondisi yang dibuat serupa mungkin dengan keadaan di dunia nyata atau yang biasa dikenal sebagai ecological validity Straubhaar dan Larose, 1997 :415).

    Survey
    Metode survey sangat populer dewasa ini, terutama kemanfaatannya untuk dimanfaatkan sebagai metode dasar dalam polling mengenai opini publik. Metode survey lebih memiliki kemampuan dalam generalisasi terhadap hasil riset daripada riset eksperimen karena sampelnya yang lebih representatif dari populasi yang lebih besar. Selain itu, survey dapat mengungkap lebih banyak faktor daripada manipulasi eksperimen, seperti larangan untuk menonton tayangan kekerasan seksual di televisi dan faktor agama. Hal ini akan diperjelas dengan contoh berikut.
    Seorang peneliti melakukan penelitian mengenai efek menonton tayangan kekerasan seksual terhadap remaja. Yang pertama dilakukannya adalah menentukan sampel, kemudian membuat variabel independen yang berupa terpaan media (seperti, “Berapa kali Anda menonton tayangan kekerasan seksual di televisi dalam minggu kemarin ?”). Kemudian ditanyakan efek media massa yang menjadi variabel dependen, seperti kekerasan seksual yang dilakukan responden. Keduanya kemudian dibuat skala pengukuran yang tepat (ordinal, nominal atau interval). Setelah itu, diukur dengan rumus statistik yang sesuai (Straubhaar dan Larose, 1997 :414).

    Riset Ethnografi
    Riset etnografi (ethnografic research) mencoba melihat efek media secara lebih alamiah dalam waktu dan tempat tertentu. Metode ini berasal dari antropologi yang melihat media massa dan khalayak secara menyeluruh (holistic), sehingga tentu saja relatif membutuhkan waktu yang lama dalam aplikasi penelitian. Dalam penelitian yang menggunakan metode ini, para peneliti menggunakan teknik observasi, pencatatan dokumen dan wawancara mendalam. Dalam melakukan wawancara mendalam, peneliti harus mampu mengeksplorasi beragam informasi dari responden, tanpa melalui pertanyaan yang sifatnya kaku sebagaimana penelitian survey (Straubhaar dan Larose, 1997 :417). Peneliti hanya memerlukan daftar pertanyaan sebagai acuan dalam wawancara yang dapat dikembangkan secara lentur ketika mengadakan wawancara, sehingga daftar pertanyaan dalam metode ini dinamakan sebagai petunjuk wawancara (interview guide).
    Misalnya, peneliti yang melakukan penelitian mengenai efek kehadiran media televisi terhadap kebudayaan penduduk Samin, sebuah sub suku Jawa yang hidup di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang selama ini terkenal dengan ketertutupannya dengan dunia luar. Yang dilakukan peneliti adalah mengamati secara seksama bagaimana masyarakat Samin mengkonsumsi televisi. Ikut bersama mereka menonton televisi, untuk mengamati apa saja yang mereka lakukan dan komentari pada saat menonton televisi, kemudian setelah itu mewawancarai mereka secara mendalam mengenai apa yang telah mereka tonton. Setalah itu semuanya dicatat secara lengkap, sehingga hasil dari penelitian ini kemudian akan sangat kaya informasi yang mendalam.

    TEORI MEDIA DAN KHALAYAK DALAM KOMUNIKASI MASSA

    Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

    Tidak ada dalam teori media yang telah menyajikan dilema dan perdebatan yang pelik dalam kajian komunikasi massa selain studi khalayak media atau khalayak (audience). Para pembuat teori media berada pada posisi yang saling berjauhan mengenai konsensus tentang bagaimana untuk mengkonseptualkan khalayak dan pengaruh khalayak. Ada dua pandangan yang secara vis a vis berhadapan tentang sifat khalayak telah melibatkan dua dialektika yang berhubungan.

    Pertama adalah adanya pertentangan antara dua gagasan yang menyatakan bahwa khalayak adalah publik massa dan di sisi yang lain, gagasan yang menyatakan bahwa khalayak adalah komunitas kecil. Kedua adalah pertentangan antara gagasan yang menyatakan khalayak adalah pasif dan gagasan yang meyakini bahwa khalayak adalah aktif. Perdebatan di atas kemudian terlihat dengan jelas mewarnai teori-teori di bawah ini.

    Masyarakat Massa Vs Komunitas
    Kontroversi mengenai masyarakat massa versus komunitas melibatkan beragam perspektif yang tidak sama dalam kajian komunikasi massa mengenai keberadaan khalayak. Sebagian kalangan memiliki perspektif bahwa khalayak sebagai massa yang tidak dapat dibedakan, dan beberapa yang lain melihatnya sebagai satu kesatuan kelompok kecil atau komunitas yang tidak seragam. Pada kaca mata perspektif seperti ini, khalayak dipahami sebagai populasi dalam jumlah yang besar yang kemudian bisa dipersatukan keberadaannya melalui media massa. Dalam perspektif kedua, khalayak dipahami sebagai anggota yang mendiskriminasi anggota kelompok kecil yang terpengaruh paling banyak dari yang segolongan.

    Teori masyarakat massa merupakan sebuah konsep yang sangat kompleks sifatnya. Teori masyarakat massa memberikan suatu gambaran mengenai kehidapan massa di mana kehidupan komunitas dan identitas etnik telah tergantikan oleh relasi yang mengandung karakter depersonalisasi seluruh masyarakat.

    Para penganut teori masyarakat massa memberi alasan mengenai teori yang mereka bangun. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa perkembangan cepat yang terjadi dalam komunikasi telah meningkatkan kontak manusia, sehingga pada akhirnya telah membuat masyarakat mengalami saling ketergantungan yang lebih besar dibandingkan di masa lalu. Namun ternyata saling ketergantungan ini kemudian mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan yang mempengaruhi semua masyarakat. Ketidakseimbangan ini berbentuk saling ketergantungan yang secara bersamaan membuat manusia semakin teralienasi satu dengan yang lain. Yang terjadi adalah keterputusan relasi komunitas dan keluarga, serta juga dipertanyakannya nilai-nilai lama.

    Sebagai contoh kongkret adalah bagaimana masyarakat Badui di pedalaman Jawa Barat yang masih teguh memelihara tradisi mereka, dengan menolak kehadiran media massa. Relasi sosial mereka masih sangat dipengaruhi oleh tradisi yang bersendi nilai-nilai lama. Kondisi yang sangat berbeda akan kita jumpai dalam masyarakat Sunda yang telah berada di Kota Bandung yang sudah banyak menerima terpaan media. Relasi sosial mereka, terutama dengan keluarga dan tetangga, pasti lebih longgar dibandingkan dengan masyarakat Badui. Bisa jadi mereka tidak akan mengenal tetangga yang berada di sebelah rumah. Kondisi ini dapat dengan mudah kita jumpai di berbagai perumahan mewah yang saling teralienasi satu dengan yang lain.

    Sedangkan dalam pendekatan komunitas isi media ditafsirkan di dalam komunitas berdasarkan makna-makna yang dikerjakan secara sosial di dalam kelompok, dan individu dipengaruhi lebih oleh sejawat mereka daripada oleh media. Menurut Gerard Shoening dan James Anderson, gagasan mengenai komunitas dalam kajian komunikasi massa melihat isi media sebagai sesuatu yang media-interpretif, di mana makna yang dilahirkan oleh pesan media dihasilkan secara interaktif di dalam kelompok orang yang menggunakan media dengan cara yang sama (Shoening dan Anderson dalam Littlejohn, 1996 : 332-333).

    Khalayak Aktif versus Khalayak Pasif
    Dalam pandangan teori komunikasi massa khalayak pasif dipengaruhi oleh arus langsung dari media, sedangkan pandangan khalayak aktif menyatakan bahwa khalayak memiliki keputusan aktif tentang bagaimana menggunakan media. Selama ini yang terjadi dalam studi komunikasi massa, teori masyarakat massa lebih memiliki kecenderungan untuk menggunakan konsepsi teori khalayak pasif, meskipun tidak semua teori khalayak pasif dapat dikategorisasi sebagai teori masyarakat massa. Demikian juga, sebagian besar teori komunitas yang berkembang dalam studi komunikasi massa lebih cenderung menganut kepada khalayak aktif.

    Wacana di atas berelasi dengan pelbagai teori pengaruh media yang berkembang setelahnya. Teori “pengaruh kuat” seperti teori peluru (bullet theory) yang ditimbulkan media lebih cenderung untuk didasarkan pada khalayak pasif, sedangkan teori “pengaruh minimal” seperti uses and gratification theory lebih banyak dilandaskan pada khalayak aktif.
    Dalam kajian yang dilakukan oleh Frank Biocca dalam artikelnya yang berjudul ”Opposing Conceptions of the Audience : The Active and Passive Hemispheres of Communication Theory” (1998), yang kemudian diakui menjadi tulisan paling komprehensif mengenai perdebatan tentang khalayak aktif versus khalayak pasif, ditemukan beberapa tipologi dari khalayak aktif.

    Pertama adalah selektifitas (selectivity). Khalayak aktif dianggap selektif dalam proses konsumsi media yang mereka pilih untuk digunakan. Merka tidak asal-asalan dalam mengkonsumsi media, namun didasari alasan dan tujuan tertentu. Misalnya, kalangan bisnis lebih berorientasi mengkonsumsi Majalah Swasembada dan Harian Bisnis Indonesia untuk mengetahui perkembangan dunia bisnis, penggemar olahraga mengkonsumsi Tabloid Bola untuk mengetahui hasil berbagai pertandingan olah raga dan sebagainya.

    Karakteristik kedua adalah utilitarianisme (utilitarianism) di mana khalayak aktif dikatakan mengkonsumsi media dalam rangka suatu kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu yang mereka miliki.

    Karakteristik yang ketiga adalah intensionalitas (intentionality), yang mengandung makna penggunaan secara sengaja dari isi media. Karakteristik yang keempat adalah keikutsertaan (involvement) , atau usaha. Maksudnya khalayak secara aktif berfikir mengenai alasan mereka dalam mengkonsumsi media.

    Yang kelima, khalayak aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi pengaruh media (impervious to influence), atau tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri (Littlejohn,1996 : 333).
    Khalayak yang lebih terdidik (educated people) cenderung menjadi bagian dari khalayak aktif, karena mereka lebih bisa memilih media yang mereka konsumsi sesuai kebutuhan mereka dibandingkan khalayak yang tidak terdidik.

    Kita bisa melihat tipologi khalayak pasif dan khalayak aktif ini dari konsumsi media cetak masyarakat di sekitar kita. Media cetak kriminal, seperti Pos Kota dan Lampu Merah di Jakarta, Meteor di Jawa Tengah, Koran Merapi di Yogyakarta dan Memorandum di Jawa Timur sangat populer di kalangan menengah ke bawah. Berbagai harian ini dapat dengan mudah dijumpai di lapak-lapak koran yang bersebaran di pinggir jalan dengan konsumen yang didominasi kalangan menengah ke bawah. Mereka mengkonsumsi media di atas dengan selektivitas yang menimal dan tujuan yang tidak begitu jelas. Berbeda dengan kalangan menengah ke atas yang lebih terdidik yang mengkonsumsi media massa dengan tujuan tertentu secara selektif. Misalnya, mereka yang aktif dalam kegiatan perekonomian tentu akan lebih memilih Bisnis Indonesia dibanding memilih media lain. Alasan mereka memilih media ini tentu saja karena harian ini lebih banyak mengupas masalah ekonomi dan dunia usaha yang berhubungan langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari.

    Namun mayoritas ahli komunikasi massa dewasa ini lebih meyakini bahwa komunitas massa dan dikotomi aktif-pasif merupakan konsep yang terlalu sederhana atau deterministik, karena konsep-konsep di atas tidak mampu menelaah kompleksitas sebenarnya dari khalayak. Bisa jadi pada saat tertentu khalayak menjadi khalayak aktif, namun pada saat yang lain mereka menjadi khalayak pasif, sehingga pertanyaannya kemudian bergeser lebih jauh mengenai kapan dan dalam situasi apa khalayak menjadi lebih mudah terpengaruh.

    Komunikasi massa dalam arti sempit adalah proses dimana organisasi media membuat dan menyebarkan pesan kepada khalayak banyak (publik). Dalam arti luas komunikasi dapat di devinisikan sebagai proses komunikasi yang berlangsung dimana pesannya di kirim dari sumber yang melembaga kepada khalayak yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanis seperti radio, televise, surat kabar dan film.

    Pesan komunikasi massa berlangsung satu arah dan tanggapan baliknya lamban (tertunda) dan sangat terbatas.

    Beberapa defenisi komunikasi massa.

    • Komunikasi massa adalah proses di mana informasi diciptakan dan disebarkan oleh organisasi untuk dikonsumsi oleh khalayak (Ruben, 1992)
    • Komunikasi massa adalah pesan-pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah orang. (Bittner, 1980)
    • Komunikasi massa adalah suatu proses dalam mana komunikator-komunikator menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas, dan secara terus menerus menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai cara. (DeFleur dan Denis, 1985)

    Ciri-ciri komunikasi massa

    1. Menggunakan media masa dengan organisasi (lembaga media) yang jelas.
    2. Komunikator memiliki keahlian tertentu
    3. Pesan searah dan umum, serta melalui proses produksi dan terencana
    4. Khalayak yang dituju heterogen dan anonim
    5. Kegiatan media masa teratur dan berkesinambungan
    6. Ada pengaruh yang dikehendaki
    7. Dalam konteks sosial terjadi saling mempengaruhi antara media dan kondisi masyarakat serta sebaliknya.
    8. Hubungan antara komunikator (biasanya media massa) dan komunikan (pemirsanya) tidak bersifat pribadi.

    Efek komunikasi masa terhadap individu

    Menurut Steven A. Chafee, komunikasi masa memiliki efek-efek berikut terhadap individu:

    1. Efek ekonomis: menyediakan pekerjaan, menggerakkan ekonomi (contoh: dengan adanya industri media massa membuka lowongan pekerjaan)
    2. Efek sosial: menunjukkan status (contoh: seseorang terkadang dinilai dari media massa yang ia baca, seperti surat kabar pos kota memiliki pembaca berbeda dibandingkan dengan pembaca surat kabar Kompas.
    3. Efek penjadwalan kegiatan
    4. Efek penyaluran/ penghilang perasaan
    5. Efek perasaan terhadap jenis media

    Menurut Kappler (1960) komunikasi masa juga memiliki efek:

    1. conversi, yaitu menyebabkan perubahan yang diinginkan dan perubahan yang tidak diinginkan.
    2. memperlancar atau malah mencegah perubahan
    3. memperkuat keadaan (nilai, norma, dan ideologi) yang ada.

    Catatan kaki

    1. ^ (en) Littlejohn, Stephen W. Theories of Human Communication. Seventh edition.

    TEORI KOMUNIKASI MASSA TERHADAP INDIVIDU

    Oleh :Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

    Teori-teori yang terangkum dalam bagian terdahulu menekankan pada hasil publik dan kebudayaan dari komunikasi massa. Perkembangan kajian teori komunikasi massa lainnya, yang akan dibahas dalam bagian ini menekankan pada pengaruh individual dari komunikasi massa. Pada bagian ini, kita membahas beberapa dari teori tradisi pengaruh-individu dalam studi mengenai komunikasi massa.

    Teori Pengaruh Tradisi (The Effect Tradition)
    Teori pengaruh komunikasi massa dalam perkembangannya telah mengalami perubahan yang kelihatan berliku-liku dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti percaya pada teori pengaruh komunikasi “peluru ajaib” (bullet theory) Individu-individu dipercaya sebagai dipengaruhi langsung dan secara besar oleh pesan media, karena media dianggap berkuasa dalam membentuk opini publik. Menurut model ini, jika Anda melihat iklan Close Up maka setelah menonton iklan Close Up maka Anda seharusnya mencoba Close Up saat menggosok gigi.
    Kemudian pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua langkah (two step flow) menjadi populer, media pengaruh dianggap sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang minimal. Misalnya iklan Close Up dipercaya tidak akan secara langsung mempengaruhi banyak orang-orang untuk mencobanya. Kemudian dalam 1960-an, berkembang wacana baru yang mendukung minimalnya pengaruh media massa, yaitu bahwa pengaruh media massa juga ditengahi oleh variabel lain. Suatu kekuatan dari iklan Close Up secara komersil atau tidak untuk mampu mempengaruhi khalayak agar mengkonsumsinya, tergantung pada variabel lain. Sehingga pada saat itu pengaruh media dianggap terbatas (limited-effects model).

    Sekarang setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak ilmuwan komunikasi sudah kembali ke powerful-effects model, di mana media dianggap memiliki pengaruh yang kuat, terutama media televisi.Ahli komunikasi massa yang sangat mendukung keberadaan teori mengenai pengaruh kuat yang ditimbulkan oleh media massa adalah Noelle-Neumann melalui pandangannya mengenai gelombang kebisuan.

    Uses, Gratifications and Depedency
    Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?” (McQuail, 2002 : 388). Di sini sikap dasarnya diringkas sebagai berikut :

    Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345).

    Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).

    Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media – persons interactions sebagai berikut :
    Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi
    Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial
    Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai
    Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).
    Seperti yang telah kita diskusikan di atas, uses and gratifications merupakan suatu gagasan menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi terhadap berbagai hal secara lebih mendalam. Untuk itu mari sekarang kita mendiskusikan beberapa perluasan dari pendekatan yang dilakukan dengan teori uses and gratifications.

    Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)
    Phillip Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur kelekatan yang ada di dalam teori uses and gratification dengan menciptakan suatu teori yang disebutnya sebagai expectance-value theory (teori pengharapan nilai).
    Dalam kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang Anda cari dari media ditentukan oleh sikap Anda terhadap media --kepercayaan Anda tentang apa yang suatu medium dapat berikan kepada Anda dan evaluasi Anda tentang bahan tersebut. Sebagai contoh, jika Anda percaya bahwa situated comedy (sitcoms), seperti Bajaj Bajuri menyediakan hiburan dan Anda senang dihibur, Anda akan mencari kepuasan terhadap kebutuhan hiburan Anda dengan menyaksikan sitcoms. Jika, pada sisi lain, Anda percaya bahwa sitcoms menyediakan suatu pandangan hidup yang tak realistis dan Anda tidak menyukai hal seperti ini Anda akan menghindari untuk melihatnya.

    Teori Ketergantungan (Dependency Theory)
    Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.
    Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media. Lalu apa yang sebenarnya melandasi ketergantungan khalayak terhadap media massa ?

    Ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan menjadi lebih tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak bersangkutan dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa kebutuhan saja. Jika misalnya, Anda mengikuti perkembangan persaingan antara Manchester United, Arsenal dan Chelsea secara serius, Anda mungkin akan menjadi tergantung pada tayangan langsung Liga Inggris di TV 7. Sedangkan orang lain yang lebih tertarik Liga Spanyol dan tidak tertarik akan Liga Inggris mungkin akan tidak mengetahui bahwa situs TV 7 berkaitan Liga Inggris telah di up date, atau tidak melihat pemberitaan Liga Inggris di Harian Kompas.

    Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial.
    Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi.

    Riset Eksperimen
    Riset eksperimen (experimental research) merupakan pengujian terhadap efek media dibawah kondisi yang dikontrol secara hati-hati. Walaupun penelitian yang menggunakan riset eksperimen tidak mewakili angka statistik secara keseluruhan, namun setidaknya hal ini bisa diantisipasi dengan membagi obyek penelitian ke dalam dua tipe yang berada dalam kondisi yang berbeda.
    Riset eksperimen yang paling berpengaruh dilakukan oleh Albert Bandura dan rekan-rekannya di Stanford University pada tahun 1965. Mereka meneliti efek kekerasan yang ditimbulkan oleh tayangan sebuah film pendek terhadap anak-anak. Mereka membagi anak-anak tersebut ke dalam tiga kelompok dan menyediakan boneka Bobo Doll, sebuah boneka yang terbuat dari plastik, di setiap ruangan. Kelompok pertama melihat tayangan yang berisi adegan kekerasan berulang-ulang, kelompok kedua hanya melihat sebentar dan kelompok ketiga tidak melihat sama sekali.
    Ternyata setelah menonton, kelompok pertama cenderung lebih agresif dengan melakukan tindakan vandalisme terhadap boneka Bobo Doll dibandingkan dengan kelompok kedua dan ketiga. Hal ini membuktikan bahwa media massa memiliki peran membentuk karakter khalayaknya.
    Kelemahan metode ini adalah berkaitan dengan generalisasi dari hasil penelitian, karena sampel yang diteliti sangat sedikit, sehingga sering muncul pertanyaan mengenai tingkat kemampuannya untuk diterapkan dalam kehidupan nyata (generalizability). Kelemahan ini kemudian sering diusahan untuk diminimalisir dengan pembuatan kondisi yang dibuat serupa mungkin dengan keadaan di dunia nyata atau yang biasa dikenal sebagai ecological validity Straubhaar dan Larose, 1997 :415).

    Survey
    Metode survey sangat populer dewasa ini, terutama kemanfaatannya untuk dimanfaatkan sebagai metode dasar dalam polling mengenai opini publik. Metode survey lebih memiliki kemampuan dalam generalisasi terhadap hasil riset daripada riset eksperimen karena sampelnya yang lebih representatif dari populasi yang lebih besar. Selain itu, survey dapat mengungkap lebih banyak faktor daripada manipulasi eksperimen, seperti larangan untuk menonton tayangan kekerasan seksual di televisi dan faktor agama. Hal ini akan diperjelas dengan contoh berikut.
    Seorang peneliti melakukan penelitian mengenai efek menonton tayangan kekerasan seksual terhadap remaja. Yang pertama dilakukannya adalah menentukan sampel, kemudian membuat variabel independen yang berupa terpaan media (seperti, “Berapa kali Anda menonton tayangan kekerasan seksual di televisi dalam minggu kemarin ?”). Kemudian ditanyakan efek media massa yang menjadi variabel dependen, seperti kekerasan seksual yang dilakukan responden. Keduanya kemudian dibuat skala pengukuran yang tepat (ordinal, nominal atau interval). Setelah itu, diukur dengan rumus statistik yang sesuai (Straubhaar dan Larose, 1997 :414).

    Riset Ethnografi
    Riset etnografi (ethnografic research) mencoba melihat efek media secara lebih alamiah dalam waktu dan tempat tertentu. Metode ini berasal dari antropologi yang melihat media massa dan khalayak secara menyeluruh (holistic), sehingga tentu saja relatif membutuhkan waktu yang lama dalam aplikasi penelitian. Dalam penelitian yang menggunakan metode ini, para peneliti menggunakan teknik observasi, pencatatan dokumen dan wawancara mendalam. Dalam melakukan wawancara mendalam, peneliti harus mampu mengeksplorasi beragam informasi dari responden, tanpa melalui pertanyaan yang sifatnya kaku sebagaimana penelitian survey (Straubhaar dan Larose, 1997 :417). Peneliti hanya memerlukan daftar pertanyaan sebagai acuan dalam wawancara yang dapat dikembangkan secara lentur ketika mengadakan wawancara, sehingga daftar pertanyaan dalam metode ini dinamakan sebagai petunjuk wawancara (interview guide).
    Misalnya, peneliti yang melakukan penelitian mengenai efek kehadiran media televisi terhadap kebudayaan penduduk Samin, sebuah sub suku Jawa yang hidup di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang selama ini terkenal dengan ketertutupannya dengan dunia luar. Yang dilakukan peneliti adalah mengamati secara seksama bagaimana masyarakat Samin mengkonsumsi televisi. Ikut bersama mereka menonton televisi, untuk mengamati apa saja yang mereka lakukan dan komentari pada saat menonton televisi, kemudian setelah itu mewawancarai mereka secara mendalam mengenai apa yang telah mereka tonton. Setalah itu semuanya dicatat secara lengkap, sehingga hasil dari penelitian ini kemudian akan sangat kaya informasi yang mendalam.

    TEORI MEDIA DAN KHALAYAK DALAM KOMUNIKASI MASSA

    Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

    Tidak ada dalam teori media yang telah menyajikan dilema dan perdebatan yang pelik dalam kajian komunikasi massa selain studi khalayak media atau khalayak (audience). Para pembuat teori media berada pada posisi yang saling berjauhan mengenai konsensus tentang bagaimana untuk mengkonseptualkan khalayak dan pengaruh khalayak. Ada dua pandangan yang secara vis a vis berhadapan tentang sifat khalayak telah melibatkan dua dialektika yang berhubungan.

    Pertama adalah adanya pertentangan antara dua gagasan yang menyatakan bahwa khalayak adalah publik massa dan di sisi yang lain, gagasan yang menyatakan bahwa khalayak adalah komunitas kecil. Kedua adalah pertentangan antara gagasan yang menyatakan khalayak adalah pasif dan gagasan yang meyakini bahwa khalayak adalah aktif. Perdebatan di atas kemudian terlihat dengan jelas mewarnai teori-teori di bawah ini.

    Masyarakat Massa Vs Komunitas
    Kontroversi mengenai masyarakat massa versus komunitas melibatkan beragam perspektif yang tidak sama dalam kajian komunikasi massa mengenai keberadaan khalayak. Sebagian kalangan memiliki perspektif bahwa khalayak sebagai massa yang tidak dapat dibedakan, dan beberapa yang lain melihatnya sebagai satu kesatuan kelompok kecil atau komunitas yang tidak seragam. Pada kaca mata perspektif seperti ini, khalayak dipahami sebagai populasi dalam jumlah yang besar yang kemudian bisa dipersatukan keberadaannya melalui media massa. Dalam perspektif kedua, khalayak dipahami sebagai anggota yang mendiskriminasi anggota kelompok kecil yang terpengaruh paling banyak dari yang segolongan.

    Teori masyarakat massa merupakan sebuah konsep yang sangat kompleks sifatnya. Teori masyarakat massa memberikan suatu gambaran mengenai kehidapan massa di mana kehidupan komunitas dan identitas etnik telah tergantikan oleh relasi yang mengandung karakter depersonalisasi seluruh masyarakat.

    Para penganut teori masyarakat massa memberi alasan mengenai teori yang mereka bangun. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa perkembangan cepat yang terjadi dalam komunikasi telah meningkatkan kontak manusia, sehingga pada akhirnya telah membuat masyarakat mengalami saling ketergantungan yang lebih besar dibandingkan di masa lalu. Namun ternyata saling ketergantungan ini kemudian mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan yang mempengaruhi semua masyarakat. Ketidakseimbangan ini berbentuk saling ketergantungan yang secara bersamaan membuat manusia semakin teralienasi satu dengan yang lain. Yang terjadi adalah keterputusan relasi komunitas dan keluarga, serta juga dipertanyakannya nilai-nilai lama.

    Sebagai contoh kongkret adalah bagaimana masyarakat Badui di pedalaman Jawa Barat yang masih teguh memelihara tradisi mereka, dengan menolak kehadiran media massa. Relasi sosial mereka masih sangat dipengaruhi oleh tradisi yang bersendi nilai-nilai lama. Kondisi yang sangat berbeda akan kita jumpai dalam masyarakat Sunda yang telah berada di Kota Bandung yang sudah banyak menerima terpaan media. Relasi sosial mereka, terutama dengan keluarga dan tetangga, pasti lebih longgar dibandingkan dengan masyarakat Badui. Bisa jadi mereka tidak akan mengenal tetangga yang berada di sebelah rumah. Kondisi ini dapat dengan mudah kita jumpai di berbagai perumahan mewah yang saling teralienasi satu dengan yang lain.

    Sedangkan dalam pendekatan komunitas isi media ditafsirkan di dalam komunitas berdasarkan makna-makna yang dikerjakan secara sosial di dalam kelompok, dan individu dipengaruhi lebih oleh sejawat mereka daripada oleh media. Menurut Gerard Shoening dan James Anderson, gagasan mengenai komunitas dalam kajian komunikasi massa melihat isi media sebagai sesuatu yang media-interpretif, di mana makna yang dilahirkan oleh pesan media dihasilkan secara interaktif di dalam kelompok orang yang menggunakan media dengan cara yang sama (Shoening dan Anderson dalam Littlejohn, 1996 : 332-333).

    Khalayak Aktif versus Khalayak Pasif
    Dalam pandangan teori komunikasi massa khalayak pasif dipengaruhi oleh arus langsung dari media, sedangkan pandangan khalayak aktif menyatakan bahwa khalayak memiliki keputusan aktif tentang bagaimana menggunakan media. Selama ini yang terjadi dalam studi komunikasi massa, teori masyarakat massa lebih memiliki kecenderungan untuk menggunakan konsepsi teori khalayak pasif, meskipun tidak semua teori khalayak pasif dapat dikategorisasi sebagai teori masyarakat massa. Demikian juga, sebagian besar teori komunitas yang berkembang dalam studi komunikasi massa lebih cenderung menganut kepada khalayak aktif.

    Wacana di atas berelasi dengan pelbagai teori pengaruh media yang berkembang setelahnya. Teori “pengaruh kuat” seperti teori peluru (bullet theory) yang ditimbulkan media lebih cenderung untuk didasarkan pada khalayak pasif, sedangkan teori “pengaruh minimal” seperti uses and gratification theory lebih banyak dilandaskan pada khalayak aktif.
    Dalam kajian yang dilakukan oleh Frank Biocca dalam artikelnya yang berjudul ”Opposing Conceptions of the Audience : The Active and Passive Hemispheres of Communication Theory” (1998), yang kemudian diakui menjadi tulisan paling komprehensif mengenai perdebatan tentang khalayak aktif versus khalayak pasif, ditemukan beberapa tipologi dari khalayak aktif.

    Pertama adalah selektifitas (selectivity). Khalayak aktif dianggap selektif dalam proses konsumsi media yang mereka pilih untuk digunakan. Merka tidak asal-asalan dalam mengkonsumsi media, namun didasari alasan dan tujuan tertentu. Misalnya, kalangan bisnis lebih berorientasi mengkonsumsi Majalah Swasembada dan Harian Bisnis Indonesia untuk mengetahui perkembangan dunia bisnis, penggemar olahraga mengkonsumsi Tabloid Bola untuk mengetahui hasil berbagai pertandingan olah raga dan sebagainya.

    Karakteristik kedua adalah utilitarianisme (utilitarianism) di mana khalayak aktif dikatakan mengkonsumsi media dalam rangka suatu kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu yang mereka miliki.

    Karakteristik yang ketiga adalah intensionalitas (intentionality), yang mengandung makna penggunaan secara sengaja dari isi media. Karakteristik yang keempat adalah keikutsertaan (involvement) , atau usaha. Maksudnya khalayak secara aktif berfikir mengenai alasan mereka dalam mengkonsumsi media.

    Yang kelima, khalayak aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi pengaruh media (impervious to influence), atau tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri (Littlejohn,1996 : 333).
    Khalayak yang lebih terdidik (educated people) cenderung menjadi bagian dari khalayak aktif, karena mereka lebih bisa memilih media yang mereka konsumsi sesuai kebutuhan mereka dibandingkan khalayak yang tidak terdidik.

    Kita bisa melihat tipologi khalayak pasif dan khalayak aktif ini dari konsumsi media cetak masyarakat di sekitar kita. Media cetak kriminal, seperti Pos Kota dan Lampu Merah di Jakarta, Meteor di Jawa Tengah, Koran Merapi di Yogyakarta dan Memorandum di Jawa Timur sangat populer di kalangan menengah ke bawah. Berbagai harian ini dapat dengan mudah dijumpai di lapak-lapak koran yang bersebaran di pinggir jalan dengan konsumen yang didominasi kalangan menengah ke bawah. Mereka mengkonsumsi media di atas dengan selektivitas yang menimal dan tujuan yang tidak begitu jelas. Berbeda dengan kalangan menengah ke atas yang lebih terdidik yang mengkonsumsi media massa dengan tujuan tertentu secara selektif. Misalnya, mereka yang aktif dalam kegiatan perekonomian tentu akan lebih memilih Bisnis Indonesia dibanding memilih media lain. Alasan mereka memilih media ini tentu saja karena harian ini lebih banyak mengupas masalah ekonomi dan dunia usaha yang berhubungan langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari.

    Namun mayoritas ahli komunikasi massa dewasa ini lebih meyakini bahwa komunitas massa dan dikotomi aktif-pasif merupakan konsep yang terlalu sederhana atau deterministik, karena konsep-konsep di atas tidak mampu menelaah kompleksitas sebenarnya dari khalayak. Bisa jadi pada saat tertentu khalayak menjadi khalayak aktif, namun pada saat yang lain mereka menjadi khalayak pasif, sehingga pertanyaannya kemudian bergeser lebih jauh mengenai kapan dan dalam situasi apa khalayak menjadi lebih mudah terpengaruh.

    Daftar Pustaka

    http://kumpulan.info/keluarga/anak/40-anak/165-lindungi-anak-dari-bahaya-internet.html

    http://trimudilah.wordpress.com/2007/04/10/peran-media-komunikasi-modern-tv

    McQuail, Denis. 1996. Teori Komunikasi massa Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.

    Nurudin, 2004. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

    Rakhmat, Jalaluddin. 1991. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

    Uchjana Effendy, Onong. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti.

    Widjaja, A.W. 1993. Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Jakarta: Bumi Aksara.

    http://trimudilah.wordpress.com/2007/04/10/peran-media-komunikasi-modern-tv

    A.W. Widjaja. 1993. Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Jakarta: Bumi Aksara. Halaman 76.

    Ibid. Halamanan 78.

    Denis McQuail. 1996. Teori Komunikasi massa Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga. Halaman 281. Lihat juga: Jalaluddin Rakhmat. 1991. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Halaman 223-239.

    Onong Uchjana Effendy. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti. Halaman 190.

    Nurudin, 2004. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Halaman 191.

    Ibid.

    http://kumpulan.info/keluarga/anak/40-anak/165-lindungi-anak-dari-bahaya-internet.html

    http://trimudilah.wordpress.com/2007/04/10/peran-media-komunikasi-modern-tv